Aku ngga tau apa karena orang-orang disekitarku terlalu hebat menebak perasaan orang lain atau memang aku yang terlalu bodoh untuk menyembunyikannya atau aku yang memang terlalu mudah ditebak oleh mereka. Bahkan disaat aku sedang diam dan tidak mengatakan apapun.
Beberapa hari yang lalu disaat aku sedang ber chit-chat bersama dengan teman baikku. Dia sibuk dengan smartphone-nya dan aku sibuk dengan pikiranku. Lalu tiba-tiba dia berkata:
"Ngga berubah?"
"Hee, apanya?"
"Rasanya, dodol"
"............."
"Bisa ngga sih ngga usah munafik?"
"I'm not."
"Aha, munafik, again and again. Lo tuh munafik. "Masih" tapi bilangnya ngga. Sok-sok kuat. Sok-sok nothing happened. Sok udah lupa. Sok biasa aja. Gitulah."
"Ngga usah soktau sama gue."
"Ngga usah nyangkal. Keliatan kok."
".................."
"Tuh kan diem, bener kan semua yang gue omongin?"
"Baru sebentar. Gue nanti bakal bener baik-baik aja kok."
"Gue kasih tau ya, udah gede ngapain sih munafik gitu. Bilang aja yang sebenernya. Yang lo rasa. Cuma bilang doang."
"Bilang "doang"? And I should hurt for the second times? Yang pertama aja sakitnya belum ilang, malah baru berasa akhir-akhir ini after months ago. Sensor perasa gue delay banget ya ngga peka gitu hahaha."
"Ngga usah ngelawak. Ngga usah pesimis gitu lah. Ngga akan tau kan kalau ngga dicoba?"
"Bawel."
And that's what we argued. And I feel that I'm not a good pretender. I used to be a good pretender but now? It meaningless.